SEPATU BARU: BELAJAR MENJADI DIRI SENDIRI

Posted: March 9, 2011 in Kritik sosial

“Jangan pilih yang itu. Itu tidak cocok buat kamu,” kami berkata kepada anak perempuan kami ketika mengantarkan dia membeli sepatu pada tahun ajaran baru. “Yang ini saja. Aku suka yang ini. Teman-temanku semua (?) pakai model seperti ini,”katanya menimpali saran kami. Ketika kami menunjukkan sepatu lain yang kualitasnya lebih bagus dan sesuai untuk dia serta harganya lebih mahal (kami tahu tipe apa anak kami dan ketahan sepatu yang selama ini dipakainya), dia tetap menolak. Keukeh. Akhirnya, mau tidak mau dan suka tidak suka, dengan sangat terpaksa, karena bisa memperkirakan umur sepatu semacam itu di kaki si kinestetik smart, kami memberikan uang dan memintanya membayar sendiri di kasir. Terpaksa.
Benar, tak sampai 3 bulan, sepatu itu rusak bagian “gesper”nya (sebenarnya kurang tepat kalau disebut gesper karena yang ada bukan pengait dari logam tetapi semacam kain dua sisi yang berperekat atau bahasa gampangnya kretekan. Fatal. Meskipun kondisi sol dan bagian lainnya masih bagus, tetap saja, karena pengaitnya yang rusak, sepatu itu menjadi tidak nyaman ketika dipakai. Kasihan.
Kubawa sepatu itu ke tukang sepatu di “desa” seberang. Kami minta bagian yang rusak itu diganti dengan yang baru. Diganti. Tapi, ya sama saja, umurnya tidak lebih dari 1 minggu. Rusak lagi. Tak nyaman lagi dipakai. Tak tega ketika melihat dia turun dari motor dan berjalan menuju gerbang sekolahnya dengan langkah kaki yang tak mantap seperti menahan sepatunya supaya tak terlepas. Aku tahu, bahwa dia merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Aku tahu, tahu benar tentang hal itu. Kegelisahannya pun kutahu. Lagi, sekali lagi, iba melihatnya.
“ini saatnya memberi gadis kecilku pelajaran dengan menunjukkan fakta”, batinku berkata. Sepulang dia sekolah, segera kutanyakan kenapa dia tidak nyaman berjalan. Tak ada kata yang terucap. Aku tahu “ketakutannya” karena aku bapaknya dan yang membesarkannya. Segera kutunjukkan bahwa pilihannya (sepatu baru itu) baik tetapi tidak benar. Dia bisa menerima apa yang aku katakan tentang pilihannya. Aku hanya berpikir, orang dengan tipikal semacam ini harus diberi “kesempatan” untuk belajar dari pengalaman. Walaupun, kalau kita memakai logika dan hitung-hitungan matematika, tentunya rugi kalau membeli sepatu dengan harga yang tidak beda jauh dengan sepatu yang harganya sedikit lebih mahal tetapi dari sisi kualitas lebih baik dan sebenarnya cocok untuk kondisinya. Inilah yang oleh banyak orang dikatakan sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan. Dia memilih sepatunya sendiri sesuai dengan keinginan hatinya. Salahkah? Tidak sama sekali. Tetap ada konsekuensi dari sebuah pilihan.
Akhirnya, aku mendapatkan momen yang tepat untuk mengajarkan sebuah nilai kepada gadis kecilku yang kinestetik smart itu. “Papa belikan kamu sepatu baru. Tapi kali ini papa yang memilih! Bagaimana?” Deal. Gadis kecil yang kinestetik smart itu setuju dengan kondisi yang aku ajukan. Kami mengatur waktu untuk membawa dia ke toko sepatu. Akhirnya, sepasang sepatu terbeli, tentunya sesuai dengan kondisi yang telah disepakati bersama.
Dari kasus sepatu baru ini ada beberapa hal yang saya pribadi bisa pelajari, terutama dalam kaitannya dengan menjadi diri sendiri dan menyikapi lingkungan di sekitar kita. Ketika kita harus memilih, memilih apapun juga, tentunya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan diperhitungkan. Ketika kita menentukan pilihan hanya karena semua orang melakukannya atau karena trend yang ada adalah seperti itu, kadang dan seringkali kita kehilangan satu sisi dari diri kita. Ketika kita menyikapi sesuatu hanya karena mengikuti “keinginan pasar” kita seringkali menjadi “salah jalan”. Mungkin, ketika mempertimbangkan untuk bertindak atas dasar “keinginan pasar”, kita sebenarnya hanya takut tidak diterima oleh “pasar”. Hanya itu. Hanya takut dianggap tidak solider, tidak CS, tidak loyal atau tidak-tidak lainnya yang orientasinya sangat sempit. Lalu apakah “keinginan pasar” tidak harus dipertimbangkan? HARUS. But, tentunya keinginan pasar tidak seharusnya membuat kita dengan sengaja membuang atau melupakan jati diri kita yang sebenarnya. “Keinginan pasar” sifatnya hanya temporer dan berubah dengan sangat cepat. “Keinginan pasar”, apalagi kalau orientasinya bukan profesionalisme tetapi individualisme dan perasaan tidak akan membuat kita menjadi manusia yang dewasa dalam arti sesungguhnya.
Mengetahui dan mencari tahu siapa sebenarnya diri kita dan apa yang kita butuhkan serta dapat kita berikan kepada lingkungan dan tempat kerja adalah hal lain yang bisa dipelajari. Pertanyaan yang bisa kita pakai untuk mengidentifikasi kebutuhan semacam itu salah satunya seperti ini,”Siapa aku sebenarnya di lingkungan ini? Betulkah aku memang membutuhkan (bukan hanya menginginkan) hal-hal seperti itu? Apa kontribusi yang harus dan bisa kuberikan untuk lingkungan ini? Apakah ukuran yang dipakai oleh komunitas di sini baik ataukah benar untuk menilai sesuatu? Pertanyaan lain yang bisa dipakai untuk membuat kita tetap bisa adaptif (bukan menjadi bunglon) adalah,”Siapa yang bisa dan layak diajak bertukar pendapat dan berdebat untuk mencari solusi atas masalah yang ada dan meningkatkan produktivitas kerja?”
Hal ketiga adalah menanamkan nilai-nilai yang benar melalui pendekatan yang tegas. Ketika mengatakan,”Papa belikan kamu sepatu baru. Tetapi kali ini papa yang memilih” sebenarnya saya sedang menanamkan sebuah nilai mengenai seringkali kita kurang menyadari adanya peluang untuk melakukan kesalahan. Ketika diingatkan pada fase-fase awal, kita cenderung menolak dengan berbagai dalih. Ada saja. Kita terpaksa harus menunggu orang-orang seperti itu “kejeduk” dulu baru kita bisa memasukkan dan menanamkan nilai-nilai lain selain nilai yang diyakininya benar. Buth pengorbanan, kesabaran, bahkan mungkin sedikit “luka”. Menunggu dan menentukan strategi adalah cara win-win untuk memenangkan “pertarungan” dengan orang-orang bertipe seperti ini. Belajar dari pengalaman, yang diperlukan.
Hal terakhir adalah, mengambil sebuah tindakan yang mungkin oleh banyak dianggap tidak populer dan otoriter. Dalam konteks-konteks tertentu, tindakan yang dikonotasikan semacam itu perlu diambil dan dilakukan. Apalagi ketika kita melihat dan mengetahui adanya potensi kerusakan yang lebih parah baik terhadap individu maupun lingkungan kerjanya. Tapi, memang seharusnya dan selayaknya, mengambil tindakan tidak harus menunggu datangnya musibah. Namun di sini konteksnya lain.
Ya, apapun namanya, ini hanya sebuah perenungan yang amat sangat sederhana dan jauh dari sempurna. Tentunya, kita memiliki nilai-nilai kita sendiri. Akan tetapi, nilai-nilai yang kita yakini dan kita anut selama ini kadang-kadang ada potensi salahnya juga. Saya pun menyadari hal itu sepenuhnya. Oleh sebab itu, akan jauh lebih indah kalau kita bisa saling bertukar nilai-nilai dan pandangan-pandangan kita yang konstruktif. Tak ada gading yang tak retak (kalau gajahnya memang masih hidup dan boleh diambil gadingnya), tak ada jalan yang tak berlubang dan berliku (tanyakan kepada DPU kenapa hal ini terjadi), tak pernah ada yang kaya seorang diri (karena monopoli bertentangan dengan undang-undang antimonopoli), dan tak ada superman (di Indonesia belum ada laki-laki yang cukup gila dengan berjalan-jalan di tempat umum sambil mengenakan CD di luar celananya), akan sangat bermanfaat kalau kita mau saling berbagi. Kita masing-masing memiliki “sepatu”. Mungkin tak perlu memberikan sepatu Anda kepada saya (takutnya kalau sepatu itu emang hanya satu-satunya), cukup ceritakan seperti apa (bentuk, ukuran dan baunya) “sepatumu” padaku supaya kutahu “rasa sepatumu”. Syukur-syukur, suatu hari kau merelakan “sepatumu” kupinjam sesaat (pasti ku kembalikan. Jangan takut!) supaya ku bisa belajar bagaimana rasanya ketika kau memakainya. Pinjam sepatunya dong. BOLEH?

Leave a comment